Sistem Perlindungan Anak Belum Optimal, Deputi Kemenko PMK Tekankan Pentingnya Komitmen dan Konsistensi dalam Penguatan Sistem

KEMENKO PMK- Deputi Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK, Woro Srihastuti Sulistyaningrum, menyampaikan bahwa sistem perlindungan anak di Indonesia belum berjalan secara optimal. Hal ini terlihat dari masih banyaknya anak-anak yang mengalami kekerasan dan eksploitasi, termasuk di ranah digital, serta anak-anak yang tidak terpenuhi hak-haknya.  

Pernyataan tersebut disampaikan Deputi Woro, yang akrab disapa Lisa, dalam kegiatan Reviu Pelaksanaan Kegiatan Perlindungan Anak Program Kerjasama Pemerintah RI-UNICEF Tahun 2024 dan Penyusunan Rencana Kerja Perlindungan Anak Program Kerjasama Pemerintah RI-UNICEF Tahun 2025 yang diselenggarakan Kementerian PPN/Bappenas di Hotel Bidakara, Senin (9/12).  

Deputi Lisa menjelaskan bahwa meskipun program kerjasama RI-UNICEF telah menunjukkan keberhasilan, seperti dalam penurunan angka kasus perkawinan anak dan prevalensi kekerasan, situasi terkini mengindikasikan bahwa sistem perlindungan anak masih belum terintegrasi dengan baik, terbukti dari hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 terkait pemanfaatan akses layanan yang masih minim walaupun masyarakat sudah mengetahui adanya layanan dan kalau pun sudah mengakses layanan, belum semuanya terlayani.

“Sistem perlindungan anak seharusnya dapat berjalan optimal jika sub-sub system (sub sistem kesejahteraan sosial anak dan keluarga, sub sistem perubahan perilaku sosial, sub sistem hukum dan kebijakan, sub sistem peradilan serta sub sistem data dan informasi perlindungan anak) yang ada di dalamnya bergerak bersama untuk memastikan pemenuhan hak-hak anak dan perlindungan mereka dari kekerasan, penelantaran, dan eksploitasi termasuk memastikan lingkungan yang mendukung,” ujar Lisa.  

Lisa juga menyoroti bahwa sistem ini sering kali berjalan hanya ketika ada program atau kegiatan tertentu dan disertai pendampingan khusus, bukan sebagai bagian dari sistem yang terintegrasi secara menyeluruh. “Apakah pendekatan ini sudah menjadi bagian dari sistem, atau hanya berjalan selama ada program? Apakah sistem perlindungan anak ini terlalu rumit untuk dipahami, atau memang belum ada komitmen dari semua pihak sehingga tidak berjalan?” tegasnya.  

Lisa menekankan pentingnya memastikan kluster hak anak, yaitu hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya serta perlindungan khusus anak terpenuhi dalam sistem yang akomodatif terhadap kebutuhan anak.  

Semua upaya ini, lanjutnya, harus dimulai dari komitmen bersama seluruh pemangku kepentingan. “Anak-anak memiliki kebutuhan yang berbeda dengan orang dewasa, baik dalam hal infrastruktur, sarana, maupun prasarana serta kebutuhan-kebutuhan lainnya. Masalah tumpang tindih regulasi, ketidakjelasan pembagian peran, lemahnya komitmen, kebijakan yang belum implementatif, rendahnya kesadaran maupun pemahaman masyarakat maupun aparat penegak hukum, adanya stigma, budaya, dan rendahnya dukungan kolektif serta masih adanya ego sektoral menjadi tantangan yang harus segera diatasi,” ujar Lisa.  

Deputi Lisa juga menekankan pentingnya memperbaiki strategi komunikasi, membangun basis data yang andal, mengembangkan SDM, serta membangun kelembagaan dan tata kelola sistem perlindungan anak.  

Program kerja sama Pemerintah RI-UNICEF dalam Country Programme Action Plan (CPAP) 2021-2025 bertujuan mendukung pemenuhan hak anak sesuai Konvensi Hak Anak dan RPJMN 2020-2024. Program ini mencakup tujuh komponen utama, yakni gizi, air bersih dan sanitasi, kesehatan, pendidikan, perlindungan anak, kebijakan sosial, serta dukungan efektivitas program.  

Melalui langkah-langkah ini, diharapkan sistem perlindungan anak di Indonesia dapat berjalan optimal untuk memastikan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

Kontributor Foto:
Reporter: