KEMENKO PMK -- Pemerintah terus mengawal implementasi Peraturan Presiden (Perpres) No. 88/2021 tentang Strategi Nasional (Stranas) Kelanjutusiaan. Hal tersebut sebagai bentuk komitmen dan tanggung jawab terhadap penduduk lanjut usia (lansia).
Asisten Deputi Pemberdayaan Disabilitas dan Lanjut Usia Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Ponco Respati Nugroho mengatakan bahwa implementasi Stranas Kelanjutusiaan harus tercermin dalam kebijakan, indikator, dan kegiatan di setiap kementerian/lembaga (K/L).
“Karena kelanjutusiaan ini sudah menjadi isu strategis maka kita harus mengingatkan K/L agar segera menjalankan amanat yang disampaikan atau disusun dalam Stranas,” ujarnya saat memimpin Rapat Koordinasi Implementasi Strategi Nasional Kelanjutusiaan oleh Kemendikburistek, Rabu (24/11).
Ia menjelaskan bahwa di dalam Stranas Kelanjutusiaan mencakup beberapa aspek, salah satunya pendidikan. Ada dua arah kebijakan pendidikan terkait kelanjutusiaan, yaitu mengembangkan pendidikan dan keterampilan sepanjang hayat bagi lansia, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap isu kelanjutusiaan.
Menurut Ponco, pendidikan kelanjutusiaan perlu dilakukan sejak dini. Artinya, baik melalui pendidikan formal ataupun nonformal, generasi muda harus mulai dipersiapkan menjadi lansia yang mandiri dan bermartabat, siap secara ekonomi, sosial, maupun mental.
“Kita juga perlu me-mainstreaming-kan isu kelanjutusiaan dalam kurikulum pendidikan sehingga semua pihak bisa peduli kepada lansia dan orang tua,” tutur Ponco.
Senada, Koordinator Fungsi Penilaian Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kemendikbud Aswin Wihdiyanto juga mengungkap pentingnya mempersiapkan peserta didik dengan sebaik-baiknya agar bisa memasuki usia lanjut yang lebih baik.
“Amanat Perpres bukan hanya memberikan pendidikan bagi lansia, tapi bagaimana mempersiapkan sejak dini. Pendidikan pada prinsipnya baik sejak PAUD maupun hingga lanjut usia adalah untuk mempersiapkan masa lansia yang bermartabat. Pendidikan bisa dilakukan kapanpun dan di manapun,” papar Aswin.
Ie menuturkan bahwa ada beberapa tantangan diantaranya yaitu persentase buta aksara usia 15-59 tahun secara nasional mencapai 1,93 persen atau di atas 3,2 juta orang. Angka putus sekolah juga relatif besar karena disebabkan faktor geografi, ekonomi, kesadaran orang tua, pengaruh lingkungan, dan juga profesi.
“Ini yang perlu kita antisipasi. Kita tahu, Angka Partisipasi Kasar (APK) peserta didik penyandang disabilitas juga masih relatif kecil yaitu 14,05% sehingga menjadi tantangan bagaimana mempersiapkan mereka saat nanti usia lanjut,” cetusnya.
Kemendikbudristek, terang Aswin, telah memiliki pendidikan inklusif yang memberikan kesempatan kepada mereka yang memiliki keterbatasan untuk bisa mengakses pendidikan. Ada juga pendidikan kesetaraan bagi semua orang yang tidak memiliki kesempatan mengejar pendidikan di sekolah formal.
Lebih lanjut, pendidikan berkelanjutan diharapkan bisa memberikan kesempatan belajar bagi orang dewasa untuk meningkatkan kemampuan tanpa adanya batasan usia dan ruang atau dengan kata lain pendidikan sepanjang hayat.
“Pada dasarnya pendidikan sudah mengakomodir kategori usia per-jenjang pendidikan. Tantangannya adalah memang mengintegrasikan kelanjutusiaan ini. Kita akan mempersiapkan skema alternatif yang lebih terintegrasi seperti pendidikan paket A, B, C, dengan memastikan sasaran lansia yang lebih matang,” paparnya.
Di akhir, Asdep Ponco menegaskan bahwa perlu ada kolaborasi terkait pendidikan kelanjutusiaan antara Kemendikbudristek dan K/L lain. Adapun K/L yang terkait yaitu diantaranya Bappenas, Kemenkes, BKKBN, Kemensos, Kemendikbudristek, DJSN.