Pengaturan Tenaga Pendamping Sosial Perlu Kajian Kesiapan Daerah Lebih Lanjut

KEMENKO PMK --  Pemerintah telah menyusun Peraturan Presiden (Perpres) tentang Penguatan Pendampingan Pembangunan. Rancangan Perpres itu sebagai upaya pemerintah melakukan penataan SDM di lingkungan Instansi pemerintah, termasuk para pendamping pembangunan.

Tenaga pendamping pembangunan adalah tenaga yang berasal dari Aparatur Sipil Negara (ASN) atau unsur masyarakat yang memiliki kompetensi kerja profesional di bidang pendampingan pembangunan. Pendamping tersebut bertugas sebagai penyuluh, fasilitator, pendamping, atau nama lain dengan tugas sejenis.

Namun, sampai saat ini tenaga pendamping pembangunan masih belum terintegrasi secara optimal yang berasal dari kurang lebih 12 kementerian dan lembaga. Oleh karenanya
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) melangsungkan Rapat Koordinasi Pembahasan Kondisi Program Pendampingan Tenaga Sosial di Masa Transisi Implementasi Rperpres Penguatan Pendampingan Pembangunan. 


Pembahasan berlangsung selama 2 (dua) hari, 7-8 Juli 2023, bertempat di Hotel Santika Bintaro.  

Rapat Koordinasi dipimpin oleh Asisten Deputi Pemberdayaan Kawasan dan Mobilitas Sosial Kemenko PMK Herbert Siagian, dan mengundang pejabatvdari Kementerian PPN/Bappenas dan Kemensos. Pembahasan berlangsung selama 2 (dua) hari, 7-8 Juli 2023, bertempat di Hotel Santika Bintaro.  

Mengawali pembahasan, Kepala Biro Hukum Bappenas Raden Rara Rita Erawati menyampaikan ketentuan-ketentuan di masa transisi, yang ditetapkan satu tahun setelah perpres diundangkan. Disebutkannya, pada ketentuan peralihan, kementerian/lembaga pemerintah non kementerian yang telah melaksanakan pendampingan pembangunan tetap menjalankan kegiatannya sampai dengan diberlakukannya skema sertifikasi kompetensi kerja pendampingan pembangunan secara nasional. Peraturan pelaksana juga harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak perpres diundangkan.

Direktur Eksekutif Tim Koordinasi Strategis Penguatan Pendampingan Pembangunan (TKSP3) Yanti menyampaikan skema sertifikasi, yang merupakan persyaratan kompetensi kerja yang harus dimiliki pendamping pembangunan yang ditetapkan dengan menggunakan standar dan aturan khusus dan prosedur yang sama. Kementerian PPN/Bappenas, BNSP, bersama kementerian/lembaga penyelenggara pendampingan bersama-sama akan mengembangkan skema sertifikasi berdasarkan kerangka kualifikasi nasional Indonesia (KKNI) pendampingan pembangunan. 
 
Ia juga menambahkan, ada kegiatan yang bisa disiapkan, namun sifatnya tidak mengikat dalam masa transisi, yaitu penyiapan penugasan SDM pendamping unsur ASN dan masyarakat, penyelenggaraan pendampingan (diklat, sertifikasi dan sosialisasi) tenaga pendamping, dan koordinasi penguatan pendampingan), proses pendataan pendamping  dan pelibatan pemangku kepentingan. 

Perwakilan Sekretariat Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial Kemensos, Eli, menceritakan tenaga pendamping sosial Kemensos adalah ujung tombak pelaksanaan program. Namun, fakta di lapangan, jumlah pendamping seperti Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) masih kurang.

Eli menerangkan, Kemensos memiliki beberapa platform yang mendapatkan pendampingan, yaitu pendamping rehabilitasi sosial, pendamping pemberdayaan sosial, dan pendamping PKH (Program Keluarga Harapan). Diketahui, Kemsos telah memiliki peta pendamping untuk mengetahui update jumlah pendamping di setiap wilayah beserta standar penentuan honorarium dari Kementerian Keuangan. 

"Kami mendukung adanya perpres ini, karena akan menjadi legal basis yang kuat, sehingga kita memiliki standar bagi para relawan atau pekerja sosial," ujar Eli.

Perwakilan Direktorat Perlindungan Jaminan Sosial Kemensos Bagianta Sembiring juga menambahkan, dari total 36.000-an orang pendamping PKH, sudah lebih dari 29 ribu orang lulus sertifikasi yang dilakukan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP).

Secara kelembagaan, kondisi penyelenggaraan pendampingan saat ini memang masih bersifat sektoral dengan pola pengembangan yang beragam, tugas yang tumpang tindih, distribusi tidak merata, dan kualitas pendamping yang berbeda-beda. Proses rekrutmen pendampingan hanya mensyaratkan tingkat pendidikan/ijazah kelulusan dan atau sertifikat sebagai bukti mengikuti pelatihan.  

Masing-masing pendamping juga memiliki orientasi yang berbeda, terbebani masalah administrasi yang menyulitkan dalam memenuhi ekspektasi dan kebutuhan masyarakat dampingan, dan belum adanya sistem monev pendampingan yang terintegrasi. 

Ke depan, dengan lahirnya rperpres, diharapkan adanya satu sistem yang terintegrasi, terstandarisasi, terkoordinasi melalui tata kelola penyelenggaraan program untuk memastikan tercapainya tujuan program pembangunan yang menggunakan pendekatan pendampingan, proses rekrutmen yang transparan dengan mensyaratkan sertifikat kompetensi pada proses rekrutmennya, serta adanya ukuran kinerja yang jelas dan terukur dalam menentukan peran pendamping yang relevan dengan kebutuhan masyarakat yang didampinginya. 

Ada pula penetapan peran pada setiap jenjang kualifikasi pendamping, sistem monev yang sistematis untuk penatakelolaan dan pendanaan terencana dan terkoordinasi, serta pengendalian program, beserta instrumen evaluasi untuk memastikan efektivitas kinerja program.

Dari kompetensi SDM tenaga pendamping, ada keragaman program yang menyebabkan kualitas pendamping antarprogram bervariasi, dan kurang mempertimbangkan kompetensi inti (core competency) sebagai kompetensi dasar, pengembangan kompetensi tenaga pendamping sebagian besar dilakukan melalui program pelatihan yang modul pelatihannya tidak/belum mengacu pada standar kompetensi. Sebagian besar sertifikasi dikeluarkan oleh instansi pemerintah sebagai penyedia program, sehingga belum menjamin pengakuan dari pihak lain. 

Ke depan, pendamping diharapkan memiliki keahlian dan kompetensi untuk berperan dalam memfasilitasi dan memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai program melalui penerapan standarisasi kompetensi skala nasional.

Penyelenggaraan pelatihan dilakukan melalui proses belajar (learning by doing) yang terarah melalui materi pembelajaran berdasarkan standar kompetensi yang ditetapkan secara nasional. Dan sebagai sebuah profesi, tenaga pendamping akan memperoleh sertifikat kompetensi dan direkognisi secara nasional, menggunakan skema sertifikasi yang dikembangkan secara nasional.

Di akhir pembahasan, Herbert menyampaikan tenaga pendamping sosial perlu dikaji lagi lebih lanjut dari sisi kesiapan daerahnya. Ia juga memandang perlunya diferensiasi antara pendamping pembangunan karir (bersertifikat) dan non karir (relawan, kader, simpatisan), khususnya dalam bidang sosial & pelayanan dasar lainnya. Selain itu, ke depan, perlu dilakukan analisis/kajian terkait mekanisme & sistem insentif/reward yang kecenderungannya akan meningkat dan menjadi permanen. 

Kontributor Foto:
Reporter: