Pemerintah Terus Dorong Upaya Penanganan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan

KEMENKO PMK — Pemerintah berkomitmen akan terus mendorong dan mempertajam upaya-upaya penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan melalui penguatan regulasi dengan mempercepat keluarnya turunan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Hal ini disampaikan oleh Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda Kemenko PMK Woro Srihastuti Sulistyaningrum dalam Rapat Koordinasi Evaluasi Program/Kegiatan dalam Upaya Perlindungan Perempuan di Kantor Kemenko PMK, pada Kamis (11/1).

Lisa menambahkan, sosialisasi secara masif akan terus dilakukan untuk memberikan pemahaman tentang kekerasan seksual, penanganan secara komprehensif dan terpadu, penguatan monitoring dan pelaporan, pelatihan bagi aparat penegak hukum dan pemberi layanan, penyiapan anggaran termasuk dana bantuan korban, mendorong masuknya penanganan medis akibat kekerasan dalam BPJS Kesehatan, dan juga optimalisasi DAK Non Fisik Perlindungan Perempuan dan Anak.

"Kita perlu merapatkan barisan karena tahun 2024 ini adalah tahun akhir dari RPJMN 2020-2024 dan akhir periode kepemimpinan Presiden saat ini. Artinya kita harus bisa menunjukan hasil kerja-kerja kita selama 5 tahun ini, dan apa yang kita lakukan di tahun 2024 ini akan menjadi upaya akhir untuk dapat mencapai target RPJMN 2020-2024 dan RKP 2024,” ujar Lisa.

Jaksa Utama Muda pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung, Robert Parlindungan Sitinjak menyampaikan bahwa penegakan hukum selalu berorientasi pada pemenuhan akses keadilan bagi perempuan dan anak; perlindungan saksi dan korban; peradilan yang ramah; dan kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas, maka itu telah ada Pedoman Nomor 1 tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana; Pedoman Nomor 2 tahun 2023 tentang Akomodasi yang layak dan Penanganan Perkara yang aksesibel dan inklusif bagi Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan; serta Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 6 tahun 2021 tentang Pedoman Perkara Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak dan Tindak Pidana Perbuatan Cabul terhadap Anak.

Namun, implementasi dari UU Nomor 12 tahun 2022 tentang TPKS masih menemui tantangan dan hambatan di lapangan bagi aparat penegak hukum, yaitu perlu dilakukan sosialisasi dan implementasi peraturan pelaksanaan dari UU TPKS, agar dapat digunakan menjerat pelaku, memulihkan korban, bahkan mencegah terjadinya TPKS berulang.

Pada Pasal 91 ayat (1) UU TPKS menetapkan seluruh peraturan pelaksanaan PP dan Perpres dari UU TPKS ini harus ditetapkan paling lambat 2 tahun sejak UU diundangkan, tepatnya tanggal 9 Mei 2024. Pada awal tahun 2024 ini diharapkan semua peraturan turunan dapat disahkan dan diimplemetasikan, seperti diantaranya PP tentang Dana Bantuan Korban TPKS yang antara lain mengatur restitusi ganti kerugian buat korban dan kompensasi negara buat korban; serta PP tentang Pencegahan, Penanganan, Pelindungan dan Pemulihan Korban TPKS (P4TPKS) yang mengatur peran dan kewenangan masing-masing Kementerian/Lembaga agar dalam implementasinya dapat berjalan baik secara sinergis dan terkoordinasi, ujar Robert.

Ditambahkan oleh Woro bahwa tantangan lain dalam penanganan kekerasan adalah sinergi dan keterpaduan layanan yang ada di masing-masing kementerian seperti di Kemensos yang memiliki layanan Sentra Terpadu dan KemenPPPA memiliki layanan UPTD. Nantinya diharapkan dengan keluarnya peraturan turunan dari UU TPKS ini bisa dibuatkan SOP dan mekanisme-mekanisme yang lebih teknis lagi. Pada Desember tahun 2023 disampaikan turunan UU TPKS tentang RPerpres Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan  Tindak Kekerasan Seksual dan pada Januari 2024 RPepres Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sudah diserahkan kepada Presiden untuk ditetapkan menjadi Peraturan Presiden. 

Dalam rapat ini juga diangkat isu pentingnya pemberian perlindungan yang tidak hanya diberikan kepada korban tetapi juga kepada pendamping atau bagi fasilitator. 

Pada kesempatan yang sama Deputi Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA Ratna Susianawati menyampaikan UU TPKS mewajibkan pembentukan unit pelayanan teknis daerah perlindungan perempuan dan anak (UPTD PPA) yang sampai saat ini telah terbentuk di 34 propinsi dan harapannya sampai 39 propinsi dan seluruh kabupaten/kota. 

Isu perempuan dan anak merupakan bagian dari pilar utama yang menjadi komitmen pemerintah dan bagian penting untuk membangun masa depan. "Terkait isu perempuan dan anak ini tidak bisa dan keniscayaan jika ini ditinggalkan" ucapnya.

Mainstreaming isu pengarustamaan gender menjadi bagian dari pilar utama untuk memastikan semua K/L dan Daerah untuk melaksanakan strategi ini "Ini penting untuk mengurai tidak hanya diskriminasi, tidak hanya eksploitasi tapi bagaimana memastikan ruang-ruang aksesibilitas, ruang partisipasi, ruang pengambilan keputusan yang kemudian bisa memastikan bahwa manfaat pembangunan bisa dirasakan adil dan setara" tambahnya.

Perwakilan dari Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah melaporkan  data komnas perempuan tahun 2020 menunjukan korban kekerasan 80 persen tidak melapor dengan berbagai pertimbangannya. Pada tahun 2022 ada trend yang berbeda dari tahun sebelumnya, yaitu yang paling tinggi bukan korban perkosaan tetapi korban kekerasan seksual non fisik yaitu pelecehan.
"ini artinya sosialisasi UU TPKS tentang kekerasan seksual non fisik, sudah dirasakan dampaknya, bahwa orang sudah mulai mau melaporkan terhadap kekerasan  tersebut" ujarnya.

Perwakilan LPSK Noor Sidharta melaporkan saat ini perlindungan yang kasus hukumnya (kasus pidana) masih berjalan di LPSK berjumlah 1.114.  Jumlah perlindungan yang masuk di LPSK mengalami peningkatan yang cukup signifikan paling tidak di beberapa daerah seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta,  Yogyakarta, Bangka Belitung dan Lampung.

Menurut data Simfoni-PPA per Januari-September 2023, kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) terdapat 7.607 kasus dan jumlah korban 7.783, diantaranya terdapat 1.387 kasus dan 1.415 korban kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa.

Pencegahan terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi tugas bersama seluruh komponen Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, institusi non pemerintahan, institusi pendidikan, organisasi kemasyarakatan, serta seluruh masyarakat. Sinergitas program antar kementerian/lembaga, penguatan koordinasi serta pengendalian program tahun 2024 diharapkan semakin solid dalam menuntaskan pencapaian target RPJMN 2024.

Kontributor Foto:
Reporter: