Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak Dalam Implementasi Sistem Peradilan Pidana Anak

Palembang (24/9) -- Kekerasan terhadap anak masih menjadi problem penegakkan hukum di Indonesia. Kekerasan pada anak biasanya terjadi di lingkup keluarga dan salah satunya disebabkan oleh masalah ekonomi.

Namun, selain anak menjadi korban kekerasan, anak juga dapat menjadi pelaku kekerasan dan kejahatan, atau yang sering disebut Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). 

Kasus ABH ini terjadi karena anak menjadi korban dari apa yang dilihat didengar dan dirasakan serta pengaruh lingkungan disekitar mereka.

Berdasarkan hasil uji statistik yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),  tindak kejahatan yang dilakukan anak yang menjadi penghuni Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) disebabkan oleh beberapa faktor pendorong.

Faktor-faktor tersebut yaitu: kasus pencurian karena pengaruh pergaulan dan kemiskinan; kasus penganiayaan karena pengaruh pergaulan dan medsos; kasus pembunuhan karena pengaruh pergaulan dan medsos; kasus asusila karena pornografi dan pengaruh pergaulan serta medsos; kasus narkoba karena pengaruh teman dan kemiskinan; kasus pencabulan karena pornografi dan medsos; kasus persetubuhan karena medsos, pornografi dan pergaulan; kasus kepemilikan senjata tajam karena faktor pergaulan dan medsos. 

Asisten Deputi Bidang Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Marwan Syaukani menyampaikan bahwa meskipun anak sebagai pelaku, hak anak perlu terus dilindungi. Salah satu upayanya yaitu dengam memberikan bimbingan, pembinaan, dan pemenuhan kebutuhan anak di LPKA.

Hal tersebut disampaikan Marwan Syaukani saat menggantikan Femmy Eka Kartika Putri selaku Asdep Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak Kemenko PMK sekaligus penanggung jawab kegiatan, dalam Rapat Koordinasi Daerah Kemenko PMK di Provinsi Sumatera Selatan tentang Kebijakan Perlindungan Anak, di Hotel Novotel Palembang, pada Kamis (24/9).

"Diperlukan peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia aparat penegak hukum, pembimbing kemasyarakatan dan pendamping/pekerja sosial, membangun infrastruktur yang dibutuhkan untuk menunjang pemenuhan hak-hak anak," ujar Marwan.

Selain itu, menurut Marwan, untuk menguatkan upaya pemenuhan dan perlindungan hak anak, perlu ditingkatkan sinergitas implementasi UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dalam proses hukum pada anak antara pusat dan daerah. 

Sebagai informasi, pada tahun 2019, berdasarkan data dari aplikasi Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI), di Sumsel jumlah korban kasus kekerasan terhadap anak di Provinsi Sumatera Selatan mencapai 376 kasus dengan jumlah korban anak laki-laki 55 dan anak perempuan 138. Banyak faktor yang melatarbelakangi anak yang melakukan tindak pidana diantaranya, pendidikan, usia, pergaulan anak dan lingkungan keluarga. 

Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) Nasrun Umar mengatakan, pihaknya terus mendorong aparat penegak hukum yang ada diwilayahnya untuk dapat mengimplementasikan UU SPPA dalam proses hukum pada anak. Nasrun menegaskan, pihaknya di Pemerintah Provinsi Sumsel juga telah kelompok kerja (Pokja) untuk menangani ABH, serta telah dilakukan pembinaan kepribadian dan pendidikan yang layak.

"Proses peradilannya tidak hanya dimaknai sekedar penanganan anak yang berhadapan dengan hukum semata, namun juga harus mencakup akar permasalahan anak yang melakukan tindak pidana, yakni kebutuhan pelayanan hak-hak korban salah satunya adalah pemenuhan hak korban dalam proses hukum dapat terpenuhi," tukas Nasrun.

Rakorda diikuti pula oleh Kadis Dinsos Sulsel, Kadis PPa Sumsel, Ka LPKA Kelas I Palembang, anggota Komisi KPAI, perwakilan organisasi perangkat daerah dari Kantor Perwakilan Kementerian Hukum dan HAM, Kantor Perwakilan Agama, Akademisi, PGRI, Forum Anak, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, serta LSM pemerhati anak dan perempuan di Provinsi Sumatera Selatan dan Media Lokal. (*)

Kontributor Foto:
Reporter: