Jakarta (11/2) -- Kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak masih marak terjadi di tengah masyarakat. Data dari Komnas Perempuan mencatat, tren jumlah kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat setiap tahunnya. Sebelumnya di tahun 2015 kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 16.217 kasus, kasus itu meningkat tajam di tahun 2020, menjadi 421.752 kasus.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak Perempuan dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Femmy Eka Kartika Putri menyatakan bahwa penyelesaian kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak menjadi perhatian serius bagi pemerintah.
Hal itu disampaikannya dalam Focus Group Discussion "Praktik Terbaik Kebijakan Perlindungan Perempuan dari Kekerasan Seksual di Dunia", pada Kamis (11/2)
"Presiden Jokowi dalam arahan yang dijabarkan dalam RPJMN 2020-2024 menyatakan bahwa kesetaraan gender dan perlindungan perempuan menjadi faktor penting untuk memastikan keterlibatan perempuan secara bermakna di dalam pembangunan," ujar Femmy.
Lebih lanjut, Deputi Femmy menjelaskan, kekerasan seksual tidak hanya sebatas pada pemerkosaan dan pencabulan, tetapi masih banyak lainnya.
"Setidaknya ada 9 bentuk kejahatan kekerasan seksual, yaitu: pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual," jelasnya.
Karena itu, dikatakan Femmy, dibutuhkan payung hukum yang kuat untuk melindungi perempuan dalam menghapus kekerasan seksual pada perempuan. "Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi hal yang urgen untuk segera disahkan," tutur dia.
RUU PKS merupakan RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2019 dan 2020. Saat ini, RUU PKS telah masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun 2021.
"Diharapkan tahun ini RUU PKS bisa direalisasikan dan disahkan DPR. Karenanya, perlu adanya penyiapan policy paper dan briefing paper mengenai urgensi RUU PKS," ungkapnya.
Kegiatan FGD ini menghadirkan beberapa narasumber Duta Besar Indonesia untuk Denmark, Austria, Mesir, Qatar, Jepang, dan Singapura, yang merupakan negara anggota Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women).
Kegiatan ini ditujukan untuk mengelaborasikan praktik baik kebijakan dan aturan hukum pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban kekerasan seksual secara empirik berbasis data dan fakta dari beberapa negara di dunia.
Deputi Femmy mengatakan, Indonesia sebagai negara yang sejajar dengan negara lain di dunia bertekad untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Hal itu juga seperti yang ditargetkan dalam target ke 5 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG's) yang akan dilaporkan keberhasilannya pada tahun 2030 nanti.
"Penghapusan kekerasan seksual di Indonesia telah diatur dalam beberapa payung hukum di KUHP. Namun, di dalam KUHP, pengaturan mengenai kekerasan seksual masih terbatas padapenghapusan kekerasn seksual dan pencabulan. Karena itu, RUU PKS akan mendukung UU yang telah ada, seperti UU Perlindungan Anak dan UU PKDRT," pungkas Deputi Femmy.