Miliki Peran Vital, Satuan Pendidikan Didorong Lebih Serius Tangani Kekerasan Terhadap Anak

KEMENKO PMK — Deputi Bidang Peningkatan Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK Woro Srihastuti Sulistyaningrum mendorong jajaran kementerian dan lembaga terkait untuk dapat menangani kasus kekerasan terhadap anak lebih serius di satuan pendidikan agar tidak menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak di masa depan.

Hal itu disampaikan saat memimpin “Rapat Koordinasi Kasus Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Anak di Satuan Pendidikan” yang diselenggarakan oleh Kedeputian Bidang Peningkatan Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK, pada  Rabu (6/11).

“Seluruh pihak harus lebih serius memastikan anak-anak kita terhindar dari kekerasan agar dapat berkembang dengan baik dan terlindungi dari berbagai masalah yang menghambat pertumbuhannya,” ujar Lisa.

Berdasarkan data yang dihimpun dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak per Desember 2023, jumlah kasus kekerasan terhadap anak telah mencapai angka 13.679 sepanjang tahun 2023, dimana Provinsi Kepulauan Riau menjadi wilayah terbanyak dengan 1.287 kasus, disusul oleh Provinsi Jawa Barat sebanyak 1.108 kasus, dan Provinsi DKI Jakarta sebanyak 879 kasus.

Lisa menjelaskan, kekerasan yang terjadi pada anak akan berakibat kepada penurunan fungsi otak, kesulitan anak dalam mengendalikan emosi, mengalami gangguan kesehatan fisik dan mental, hingga berpotensi mendorong anak melakukan kekerasan yang sama kepada orang lain.

“Kasus kekerasan terhadap anak dari hari ke hari semakin muncul ke permukaan, boleh jadi karena masyarakat semakin aktif dan berani melaporkan kasus yang terjadi, atau memang jumlahnya semakin meningkat akibat dari masifnya penggunaan gadget pada anak yang turut mempengaruhi,” ungkap Lisa.

Lisa mengatakan bahwa saat ini anak-anak telah terpapar penggunaan ponsel pintar yang menyebabkan anak sebagai digital native. Situasi dimana anak terlahir di lingkungan yang akrab dengan penggunaan teknologi dan turut mempengaruhi perilaku anak sehari-hari. Melihat situasi itu, Lisa menghimbau kepada satuan pendidikan untuk turut terlibat aktif dalam mengontrol dan memberikan pemahaman yang baik dalam memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut.  

Merujuk pada asesmen nasional pada tahun 2022, terdapat 34,51 persen atau satu dari tiga peserta didik mengalami kekerasan seksual, 26,9 persen peserta didik mengalami hukuman fisik, dan 36,31 persen peserta didik mengalami perundungan. Sementara itu, Federasi Serikat Guru Indonesia mencatat terdapat 22 kasus kekerasan seksual dengan korban 202 peserta didik di seluruh satuan pendidikan di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dan Kementerian Agama sepanjang Januari-Mei 2023.

“Satuan pendidikan mempunyai peran penting dalam menjaga pertumbuhan anak. Upaya ini perlu kita lakukan sebagai bagian dari usaha untuk mempersiapkan generasi emas di tahun 2045 mendatang,” ucap Lisa. 

Sebagaimana diketahui, penduduk Indonesia didominasi oleh Generasi Milenial dengan jumlah 25,87 persen dan Generasi Z sebanyak 27,94 persen yang sebagian besar merupakan penduduk di kelompok anak, remaja, dan pemuda. Lisa mengatakan, jumlah tersebut diharapkan dapat berkontribusi secara lebih aktif dalam pembangunan menuju Indonesia maju.                                             

Dalam kaitan itu, enam orang narsum memberikan kontribrusi pemikiran mereka berdasarkan perspektif keilmuan dan profesi serta pengalaman praktik mereka dalam pencegahan dan penanganan kekerasan anak di satuan pendidikan.  Narsum yang pertama, seorang  guru BK, dari asosiasi ABKIN, menekankan bahwa peran penting guru BK yang sudah merevitalisasi peran mereka yang tidak lagi menakutkan anak dan hanya diperlukan ketika ada masalah anak didik.

Guru BK sekarang lebih proaktif menciptakan lingkungan belajar yang ramah dan menyenangkan bagi anak, sehingga anak mau berbagi dan mengungkapkan masalahnya. Narsum ke-2, seorang Komisioner KPAI, membuka kesadaran kita bersama, bahwa Indonesia sudah darurat kekerasan anak, dengan data data kasus dan pengaduan kasus, yang terbaru tentang fenomena makin maraknya bunuh diri pada anak dan keinginan anak untuk menyakiti fisik mereka sendiri ketika mereka menghadapi permasalahan kehidupan.

Narsum ke-3 seorang psikolog klinis, menekankan pentingnya anak dan kita semua memiliki kesehatan mental yang prima agar kita mampu menghadapi lingkungan sosial dan masalah kehidupan yang penuh tekanan psikologis. Psikolog klinis itu juga menggaris bawahi bahwa anak korban bisa menjadi pelaku kekerasan  pada saat dewasa, karena pengalaman traumatik masa anak-anaknya. Sementara itu,  narsum ke-4 saeorang polisi psikolog, memperkenalkan pentingnya polisi ramah anak dengan mengunjungi sekolah dan berinteraksi dengan anak anak sekolah serta upaya polri untuk proaktif memberikan pelayanan psikologi keliling.

Narasumber ke 5, seorang guru PAUD mengajak kita untuk berperan serta dalam mempromosikan pendidikan anti kekerasan sejak usia dini yang dipraktikkan dengan pengasuhan positif di PAUD dan keluarga., Narsum terakhir, seorang pekerja sosial anak, mmpromosikan peran pekerja sosial anak dalam pendampingan dan advokasi ABH, bekerja sama dengan APH, sehingga proses hukum yang dijalani anak, tetap memperhatikan hak-hak dan perlindungan anak.

Kontributor Foto:
Reporter: