Urgensi Perluasan Layanan Berhenti Merokok

Jakarta (31/5) – Pemerintah menaruh perhatian besar terhadap urgensi layanan berhenti merokok. Sebagaimana disebutkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, layanan berhenti merokok merupakan salah satu strategi kebijakan pengendalian tembakau.

 

Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Agus Suprapto mengatakan bahwa indikator layanan berhenti merokok yang harus dicapai ialah 40% Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) di 350 kabupaten/kota atau setidaknya ada 4.066 FKTP yang bisa menyelenggarakan layanan berhenti merokok pada tahun 2024.

 

Namun berdasarkan data yang dirilis Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2020, jumlah puskesmas sebanyak 10.166. Namun hasil evaluasi periode Januari-Maret 2021 ternyata hanya 253 puskesmas atau sekitar 2,5% yang aktif melaksanakan layanan berhenti merokok.

 

“Jumlah ini tentu tidak seimbang atau sebanding dengan besarnya tantangan dalam menurunkan prevalensi merokok. Perkiraan Bappenas, tanpa upaya yang sistematis dan masif maka prevalensi anak merokok akan naik dari 9,1 di 2018 menjadi 16% di tahun 2030 atau setara dengan 6 juta anak perokok,” ujarnya saat menjadi pembicara Webinar Perluasan Layanan Berhenti Merokok mewakili Menko PMK, Senin (31/5).

 

Padahal, RPJMN menargetkan prevalensi merokok pada usia anak dan remaja turun dari 9,4 menjadi 8,7 pada tahun 2024. Apabila diasumsikan penurunan prevalensi sesuai target yaitu 8,7% di tahun 2025, artinya perlu merehabilitasi 67.136 anak usia 10-18 tahun yang sudah terlanjur merokok.

 

“Hal ini tentu menjadi peringatan bagi kita semua untuk meningkatkan upaya-upaya agar target penurunan prevalensi merokok anak bisa segera turun,” tegasnya.

 

Kendati demikian, tak dimungkiri dengan adanya pengaruh iklan yang masif di internet serta kondisi pandemi Covid-19 yang mengharuskan anak-anak sekolah melalui daring maka bisa saja prevalensi anak merokok justru malah semakin meningkat.

 

Agus menyebut hasil pemantauan tim lintas sektor, yaitu Kemenko PMK, Ditjen P2P Kemenkes, dan Setkab pada tahun 2021 tentang pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok dan layanan berhenti merokok di Kota Bandung, bahwa perluasan layanan berhenti merokok perlu beberapa hal.

 

Pertama, komitmen pemerintah daerah untuk mengalokasikan prioritas pembentukan dan tarif layanan serta fasilitasi kerja sama pelaksanaan antarsektor. Kedua, penyediaan komponen input yang meliputi SDM konselor berhenti merokok, prasarana dan sarana seperti bahan habis pakai, alat deteksi gas karbon monoksida (CO) dan audiovisual, serta pengayaan intervensi konseling, hipnoterapi dan terapi farmakologi.

 

”Ketiga yaitu integrasi antara program layanan berhenti merokok atau program lain seperti program skrining kesehatan pada anak sekolah, program penanganan stunting, atau program Indonesia Sehat dengan pendekatan keluarga,” paparnya.

 

Selain upaya yang dilakukan pemerintah, menurut Agus, perluasan layanan berhenti merokok juga berpeluang bermitra dengan organisasi swasta. Di samping itu juga dari aspek pembiayaan, perluasan layanan berhenti merokok dapat dilakukan melalui berbagai saluran seperti pemanfaatan dana bagi hasil cukai hasil tembakau dan pajak rokok.

 

Keberlangsungan layanan bisa dialokasikan melalui 25% dari dana bagi hasil cukai tembakau yang diperuntukkan pembinaan lingkungan sosial, pajak rokok ataupun dari 10% APBD minimum untuk bidang kesehatan. Oleh karenanya, pemda perlu cermat dalam pemanfaatan berbagai sumber pendanaan sehingga mampu mendorong penurunan prevalensi merokok anak,” tandasnya. Selain itu perlu pula meningkatkan peran dunia pendidikan dalam menjaga agar kawasan lingkungan sekolah bebas dari rokok dan memperkuat implementasi UKS di seluruh satuan pendidikan.

Kontributor Foto:
Reporter: