Oleh : Elsa Firlyani
Aktivis IPM UGM
Banyak kalimat mengandung kata “mental” yang sering kita lontarkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebenarnya, apa itu mental? Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (BKBP) mendefinisikan kata mental atau mentalitas sebagai cara berpikir atau konsep pemikiran manusia untuk dapat belajar dan merespons suatu hal. Sedangkan menurut KBBI mental adalah hal yang berkaitan dengan batin dan watak manusia.
Globalisasi budaya, informasi salah atau hoaks, dan tergerusnya nilai-nilai luhur dapat menjadi ancaman bagi keutuhan bangsa. Jika nilai-nilai luhur mulai pudar, generasi muda akan kesulitan untuk menemukan jati diri dan potensi bangsa.
Oleh karena itu Revolusi Mental menjadi gerakan yang penting dan krusial dalam perjalanan Indonesia menjadi bangsa yang merdeka seutuhnya. Sebagaimana pesan Bapak Proklamator Indonesia Ir. Soekarno : “Membangun suatu negara, tak hanya sekadar pembangunan fisik yang sifatnya material, namun sesungguhnya membangun jiwa bangsa.”
Revolusi Mental merupakan pembangunan cara pandang dan pola pikir sehingga menghasilkan perilaku yang berorientasi pada kemajuan. Gerakan ini perlu menjadi perhatian generasi muda Indonesia. Sebagaimana kita tahu bahwa mereka adalah penggerak pembangunan dan aktor utama Indonesia Emas 2045. Tiga hal yang menjadi sorotan dalam Revolusi Mental mencakup integritas, etos kerja, dan gotong royong.
Dalam Revolusi Mental, pembangunan cara pandang dimulai dari terbukanya pola pikir terhadap hal-hal di sekitar dan kepekaan melihat potensi yang dimiliki. Sikap saling menghargai dan menghormati tidak hanya berlaku pada perbedaan ras dan budaya, tetapi juga diterapkan dalam menghadapi kelompok yang memiliki keterbatasan fisik, mental, atau intelektual yang sering disebut sebagai penyandang disabilitas.
Berkaca pada contoh sederhana sehari-hari, seberapa sering kita melihat fenomena penyandang disabilitas yang dikucilkan dalam pergaulan, diremehkan dalam lingkungannya, bahkan tidak diberi kesempatan untuk mencoba memperjuangkan mimpinya. Padahal proses pembangunan Indonesia harusnya melibatkan seluruh elemen, termasuk penyandang disabilitas. Data International Labour Organitation (ILO) menunjukkan bahwa dengan tidak membuka lapangan pekerjaan bagi penyandang disabilitas, pemerintah akan kehilangan potensi Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 3-7%. Jumlah penyandang disabilitas saat ini mencapai 11,580,117. Penyandang disabilitas seringkali menanggung problem ganda yaitu kondisi disabilitas itu sendiri dan kondisi lingkungan yang diskriminatif dan kurang mendukung terhadap penyandang disabilitas. (Badan Pusat Statistik)
Revolusi Mental Generasi Muda Merangkul Disabilitas
Pemuda-pemudi Indonesia adalah salah satu elemen penting pembentukan lingkungan yang inklusif terhadap penyandang disabilitas. Sebagian besar dari mereka berhubungan langsung dengan penyandang disabilitas yang sedang berjuang untuk mimpinya di sekolah maupun universitas. Ruang lingkup Revolusi Mental generasi muda juga tercermin dari integritas pola pikirnya yang tidak terjerat stigma penyandang disabilitas, gotong royongnya untuk memberikan dukungan terhadap kelompok yang membutuhkan bantuan, serta etos kerjanya yang solutif dan inovatif terhadap isu yang seringkali diabaikan ini.
Sementara itu, Munawir Yusuf Kepala PSD LPPM UNS memberikan tips langkah kecil memulai kesadaran tentang pentingnya lingkungan ramah disabilitas. “Di masyarakat ada kelompok organisasi remaja, misal karang taruna, remaja masjid, yang terkait kepemudaan. Karena itu, ketika di kampung atau masyarakat ada penyandang disabilitas, kata kunci yang pertama adalah harus diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan di kampung”.
Memandang Disabilitas dari Literasi Keagamaan
Penindasan, pengucilan, atau dipandangnya sebelah mata kaum disabilitas dapat terjadi karena adanya anggapan manusia bahwa dirinya lebih sempurna. Kejadian-kejadian lain juga bisa terjadi karena kurangnya pemahaman. agama dan kurangnya memahami tentang bagaimana Alquran memandang disabilitas. Individu yang kurang keimanan maka cenderung bersikap dan bertindak tidak berakhlakul karimah seperti bertingkah laku atau bertindak diskriminasi, menghina, dan mengejek para penyandang disabilitas. (Hayati, 2019)
Oleh karena itu literasi agama bagai amunisi penting dalam menjalani kehidupan. Literasi keagamaan melatih manusia untuk melihat dan menganalisis titik temu antara agama dan kehidupan sosial. “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu…” (An Nur: 61)
Dilihat dari sudut pandang agama islam, disabilitas bukanlah halangan untuk saling membaur dalam lingkungan dan pergaulan. Islam mengecam sikap diskriminatif pada kaum disabilitas karena hal tersebut termasuk dalam kesombongan.
Pemuda-pemudi sekarang adalah pemimpin masa depan. Mereka bisa jadi para pengambil kebijakan dimasa mendatang yang sikap, keputusan, dan tindakannya akan berpengaruh besar bagi bangsa dan negara. Oleh sebab itu, disability awareness generasi muda perlu dibentuk dari sekarang. Literasi keagamaan adalah salah satu pendekatan mutakhir untuk membuka dan menuntun jalan pikiran anak muda yang mengantarkan mereka pada Revolusi Mental : cara pandang yang berintegritas terhadap kaum minoritas, etos kerja kolaboratif inovatif, serta gotong royong terhadap seluruh elemen bangsa Indonesia. *