Deputi IV Kemenko PMK Sampaikan Orasi Ilmiah dalam Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke-64 FEB UGM

Yogyakarta (19/09)--- Seiring berjalannnya waktu, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) terus mengubah dirinya tentu ke arah yang lebih baik. Tidak hanya soal nama, FEB UGM kini terus berusaha memperbaiki diri agar dapat semakin berkiprah di kancah internasional. Yang terbaru adalah FEB UGM menginisiasi program internasionalisasi baik di level strata satu maupun starta dua serta program staff and faculty exchange. Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM merupakan satu-satunya Fakultas Ekonomika dan Bisnis di Indonesia yg terakreditasi oleh ASCSB. Tentu bukan hal mudah untuk mendapatkan akreditasi tersebut.

Kiprah UGM agar dapat terus berpartisipasi dalam pembangunan bangsa diwujudkan tidak hanya dalam bentuk kegiatan riset dan pengabdian masyarakat, FEB UGM juga tercatat memiliki para alumni yang kini menduduki berbagai jabatan penting di pemerintahan. Salah satu alumni FEB UGM saat ini menjabat sebagai Deputi bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama, Kemenko PMK, Agus Sartono. 

Pada Rapat Senat Terbuka dalam rangka Peringatan Puncak Dies Natalis ke-64, Kamis Pagi di Auditorium Pusat Pembelajaran FEB UGM, Bulaksumur, DI Yogyakarta, dan dipimpin oleh Ketua Senat Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Prof. Marwan Asri, Agus berkesempatan menyampaikan orasi ilmiah bertajuk: “Bisnis Digital: Tren dan Perubahan Lanskap Keuangan.” Rapat Senat Terbuka ini dihadiri oleh para guru besar, dosen, mahasiswa, alumni, tenaga kependidikan, dharma wanita dan mitra FEB UGM.

Perubahan lingkungan bisnis akhir-akhir ini diwarnai dengan munculnya berbagai perusahaan rintisan (start up) yang memanfaatkan teknologi untuk menunjang bisnisnya. Perusahaan Start up ini diketahui berumur masih sangat muda tetapi punya valuasi bisnis bernilai jutaan hingga miliran dolar. “Bisnis digital merupakan tren di kalangan masyarakat namun terdapat risiko yang tidak disadari oleh masyarakat dan juga investor terutama terkait dengan penilaian perusahaan semacam ini. Konsep penilaian bisnis yang diajarkan di sekolah bisnis nampaknya perlu dikaji lagi apakah masih sesuai dan dapat diterapkan untuk menilai perusahaan-perusahaan teknologi?” ujar Agus dalam orasinya. 

Selain itu, Agus juga menekankan perlunya kewaspadaan baik imbas maupun risiko yang akan dialami seiring bertumbuhnya aneka model bisnis digital. “Akses kemudahan permodalan atau pinjaman dari perusahaan Fintech misalnya, tentu dapat mengancam keuntungan yang diperoleh dari layanan perbankan konvensional, baik sebagai layanan jasa perbankan maupun kredit. Masyarakat juga perlu diedukasi bahwa kemudahan pinjaman itu tidak dipergunakan utk konsumsi tetapi untuk kebutuhan usaha misalnya,” papar Agus yang ditemui media usai acara. 

Kewaspadaan itu secara keseluruhan tentu akan dampak meluas bagi perekonomian negara dan masyarakat. “Pelajaran dari perusahaan  rintisan yang mampu bertahan dan menguntungkan adalah dengan adanya inovasi yang mampu mengubah peta persaingan, menciptakan segmen pasar baru, menciptakan produk yang tidak pernah ada sebelumnya, dan menciptakan  proses yang sama sekali baru dan lebih efisien,” tambah Agus lagi.

Dalam orasi ilmiahnya ini, Agus justru mengungkapkan kerisauannya terhadap model penilaian perusahaan. Selama ini, menurutnya, corporate value dapat diukur menggunakan discounted cash flow model; multiple model; atau menggunakan option pricing model. Discounted cash model pada dasarnya dilakukan dengan cara free cash flow diukur nilainya sekarang menggunakan discount rate. Model ini mensyaratkan adanya free cash flow yang positif. Persoalan muncul karena begiu banyak bisnis digital yang bahkan belum membukukan laba, tetapi nilai perusahaannya sangat tinggi.

Pendekatan kedua menggunakan pembanding perusahaan sejenis. Hanya saja kesulitan yang sering muncul adalah bagi bisnis digital, start up maupun fintech sulit dicari perusahaan pembanding. Pendekatan lain yakni menggunakan option pricing model. Karena perusahaan pada prinsipnya dapat dipandang sebagai portfolio aset atau portfolio liabilities/equity. Dari perspektif investor ekuitas, nilai perusahaan dapat diukur dengan option pricing kodel. Nilai perusahaan dikatakan in the money jika lebih tinggi dari exercise price dan sebaliknya.

Terlepas dari model penilaian yang digunakan, Agus mengingatkan risiko dan potensi terjadinya buble. Selain itu Agus mewanti-wanti agar tidak terjadi money illusion, di mana perusahaan gagal menghasilkan free cash flow yang positif. Kegagalan tersebut dapat saja disebabkan karena bisnis digital tidak mampu melakukan monetisasi user ataupun pelanggarnya.

Agus juga mengingatkan potensi buble fintech terlebih yang sudah menjadi unicorn ataupun decacorn. Jika angle investor justru didominasi oleh asing, bisa jadi dengan mudah repatriasi laba keluar negeri dan berdampak buruk terhadap neraca pembayaran. Hal lain yang perlu diantisipasi adalah bahwa angle investor dapat dengan mudah keluar dari bisnis digital. Apabila bisnis digital tersebut menyangkut user atau masyarakat luas, dampak negatif akan sangat besar.

Mengakhiri orasi ilmiah, Agus sebagai Guru Besar Bidang Keuangan justru mengajukan pertanyaan untuk dikaji lebih lanjut, "Masih relevankah materi pembelajaran selama ini? Masih tepatkan model discounted dalam corporate valuation?"

Meski potensi risiko bisnis digital, start up dan fintech sangat tinggi, Agus masih optimis bahwa buble yan pernah terjadi di negara lain masih betum tentu terjadi di Indonesia. Namun demikian perlu diwaspadai krn sewaktu-waktu dapat saja terjadi. (*)