RUU PKS Penting bagi Kemanusiaan, Perlu Segera Disahkan

Jakarta (17/9) – Pelaksana tugas (Plt) Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Y. B. Satya Sananugraha, menyampaikan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) perlu segera diselesaikan dan membutuhkan dukungan dari berbagai elemen termasuk parlemen.

"Tidak semua hal terkait kekerasan seksual diatur dalam undang-undang, masih terdapat kekosongan perlindungan hukum. Kita memerlukan landasan hukum yang komperhensif dalam penanganan kasus kekerasan seksual terutama yang berpihak pada korban," ujarnya saat membuka Diskusi I: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Ditinjau dari Perspektif Negara dan Islam, yang diseleggarakan secara luring dan daring pada Kamis (10/9).

Lebih jauh, Sananugraha menyampaikan bahwa terjadi tren peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun. Data Komnas Perempuan menunjukkan, dalam 12 tahun terakhir, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 792%, atau 8 kali lipat. Pada tahun 2019 tercatat 431.471 kasus. Sejak masa pandemi ini, angka kekerasan terhadap perempuan kenaikannya mencapai 75%, sebanyak 14.719 kasus, yaitu 75,4% di ranah personal (11.105 kasus), 24,4% di ranah komunitas (3.602 kasus), dan 0,08% dalam ranah negara (12 kasus). Dari 3.062 kasus terjadi di ranah publik sebanyak 58%.

"Sangat disayangkan RUU PKS ditarik dari daftar Prolegnas 2020 semoga saja  program RUU PKS masuk ke Prolegnas 2021 untuk segera diselesaikan," ujar Sananugraha.

Sekretaris Kementerian PPPA Pribudiarta menegaskan bahwa terdapat kekosongan hukum bagi permasalahan kekerasan seksual, dan negara perlu hadir untuk masalah ini. Senada dengan Sananugraha, menurut dia, UU PKS penting ada sebagai instrumen membangun peradaban bangsa yang berkemajuan dan berkeadilan bagi seluruh warga negara agar bebas dari segala bentuk kedzoliman termasuk kekerasan dan diskriminasi, sejalan dengan kearifan nusantara yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai implementasi nilai-nilai ketauhidan.

Staf Ahli Menko PMK Bidang Pembangunan Berkelanjutan Ghafur Dharmaputra menjelaskan pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak perlu keterlibatan dan dukungan semua pihak. Kemenko PMK selaku pemerintah menata terkait segi kebijakan dan regulasinya, dan memastikan implementasinya.

Ketua SC Kongres Ulama Perempuan Indonesia Nyai Badriyah Fayumi menegaskan posisi KUPI bahwa RUU PKS penting untuk disahkan. RUU ini tidak bertentangan dengan perspektif Islam. Justru kehadiran UU ini akan meneguhkan keluarga Islam yang sakinah, mawadah dan warahmah. Perbedaam pandangan harus dapat didiskusikan dengan pikiran terbuka dan jernih. Kekerasan seksual, baik dalam jumlah sedikit apalagi besar, tidak dapat didiamkan karena memiliki dampak besar dan luas. 

Anggota DPR-RI Ali Taher menyampaikan, RUU PKS mengalami perdebatan dalam DPR RI dan saat ini dipending pembahasannya dan dikeluarkan dari Prolegnas 2020. “Kebutuhan akan RUU ini dianggap belum mendesak. Partai Amanat Nasional (PAN) tidak lagi mendukung RUU PKS”, tegas Ali.

Sementara Diah Pitaloka, anggota DPR RI yang juga Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen RI, menyampaikan, saat ini dukungan masyarakat untuk mengesahkan RUU PKS semakin bertambah. Dukungan datang dari berbagai kalangan seperti akademisi, pekerja sosial, agama, dan lain-lain, yang sangat mengkhawatirkan tingginya angka kekerasan seksual.

Diskusi menampilkan narasumber oleh Staf Ahli Menko PMK Bidang Pembangunan Berkelanjutan Ghafur Dharmaputra, Sekretaris Kementerian PPPA Pribudiarta Nur Sitepu, Ketua SC Kongres Ulama Perempuan Indonesia Nyai Badriyah Fayumi, serta anggota DPR RI Diah Pitaloka dan Ali Taher. Adapun penanggap yakni Founder Madrasah Damai-Jawa Tengah  Kamilia Hamidah, Co-founder Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Indonesia Cerdas-Makassar Nurhidayah, Co-founder Srikandi Lintas Iman-Yogyakarta Wiwin Siti Aminah R, dan anggota DPR RI periode 2014-2019 Amel Amelia.

Kegiatan diskusi ini merupakan rangkaian kegiatan Seminar Nasional ‘Meneguhkan Peran dan Tanggung Jawab Negara bagi Perlindungan Korban Kekerasan Seksual’ yang merupakan kerja sama Kemenko PMK dan Pusat Studi Islam, Perempuan dan Pembangunan Institut Teknologi dan Bisnis ‘Ahmad Dahlan’ Jakarta. (*)

Editor :
Reporter: