Tahun 2018 lalu nama Nissa Wargadipura masuka dalam 11 tokoh inspiratif Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) sebagai pendiri Pesantren Ekologi Ath-Thaariq. Namun, jauh sebelum mendirikan Pesantren Ath-Thaariq yang mengajarkan pertanian ramah lingkungan di Garut, Jawa Barat, Nissa Wargadipura sudah dikenal sebagai aktivis.
Nama Nissa sudah tidak asing lagi bagi kalangan aktifis, Nissa bergelut didunia aktifis mulai dari Forum Pemuda, Pelajar, dan Mahasiswa Garut; Lembaga Bantuan Hukum Nusantara Priangan Timur; hingga Serikat Petani Pasundan pernah bersentuhan dengannya. Bahkan, dia tercatat sebagai salah satu pendiri Serikat Petani Pasundan pada 1998.
Selama menjadi aktivis, Nissa menghabiskan banyak waktunya dengan mengadvokasi atau mendampingi petani dalam kasus-kasus agraria. Minatnya terhadap agraria memang sudah tertanam sejak kecil. Maklum, ayahnya adalah seorang mantri pertanian di Garut. Ayahnya pula yang pertama kali mengajarkan Nissa cara bertani organik.
Di Serikat Petani Pasundan, Nissa mulai melakukan pendampingan pemberdayaan ekonomi untuk petani. Caranya dengan menginisiasi gerakan bertani organik. Adapun mitranya adalah para petani di Kecamatan Bayongbong dengan obyek padi maupun palawija. Gerakan yang didorong Nissa dianggap berhasil. Mayoritas petani di Bayongbong beralih dari menggunakan bahan kimia ke pupuk organik. Nissa juga sukses membantu petani menggarap perkebunan Jangkurang di Kecamatan Leles, Sagara di Cibalong, dan Bunisalirenda di Sisompet.
Tak hanya itu, wanita 45 tahun ini berhasil memberikan pemahaman keseteraan gender kepada istri para petani. Para perempuan di desa diajarkan membantu suami mereka bercocok tanam. Ketika para suami mencari kerja di kota, para wanita di desa menjaga pemeliharaan tanaman. Biasanya, kaum Adam baru pulang kampung saat musim panen. Nissa pun mendirikan Yayasan Pengembangan Masyarakat. Lembaga ini berfungsi mendidik keluarga petani.
Nissa juga mendorong kaum Hawa untuk lebih berperan di Serikat Petani Pasundan. Walhasil, sebanyak 30 persen kepengurusan SPP di tingkat pusat diduduki wanita. Mereka mengurusi anggota Serikat Petani Pasundan yang jumlahnya menembus 100 ribu orang di Garut, Ciamis, Pangandaran, dan Tasikmalaya.
Sekitar 2008, Nissa mengusulkan agar SPP tidak melulu mengurusi advokasi agraria. Pendidikan soal tata produksi pertanian harus diajarkan ke para petani. Nissa resah melihat kondisi di sekitarnya. Para petani di Garut dianggap kurang memahami soal tata produksi. Akibatnya, mereka terlilit utang dan terpaksa menjual lahan pertanian.
Usul Nissa ternyata ditolak pengurus SPP lainnya. Karena idenya tidak diakomodasi di SPP, dia akhirnya mewujudkannya secara mandiri bersama suaminya, Ibang Lukmanurdin. Agar bisa fokus membidani ide tersebut, dia dan suaminya memilih hengkang dari SPP. “Saya pikir saya harus rehat dan menarik diri dari pergulatan mengurusi urusan agraria,” katanya.
Membangun Mimpi
Lewat sebuah pertimbangan matang, Nissa dan Ibang mendirikan Pesantren Ath-Thaariq pada 2008. Lokasinya di Kampung Cimurugul, Kelurahan Sukagalih, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pesantren yang terletak di tengah sawah ini berdiri di atas tanah seluas 8.500 meter persegi.
Meski pesantren, lembaga itu tidak hanya mengajarkan santrinya mengaji. Ath-Thaariq mengajarkan pendidikan berbasis ekologi dalam produksi pertanian. Jadi, bukan hanya belajar agama, para santri juga bertani. Hasil pertanian pun dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pesantren.
Nissa menyebut Ath-Thaariq sebagai sekolah kebun sawah. Motto Ath-Thaariq adalah “Peduli Bumi, Peduli Sesama, Peduli Masa Depan”. “Kami ingin pesantren ini menjadi model tata pertanian yang peduli terhadap lingkungan,” ujar wanita yang akrab disapa Umi Nissa tersebut.
Di pesantren tersebut, terdapat rumah, saung, asrama, dan pekarangan. Sedangkan sisanya sekitar 4.200 meter merupakan sawah, kebun, kandang, dan kolam. Untuk sawah, terbagi tiga zona yang ditanami lebih dari satu jenis padi. Tiap zona dibedakan atas masa tanam. Dengan masa tanam yang berbeda, itu bisa mengantisipasi jika panen gagal di satu zona lantaran perubahan cuaca.
Selain menanam dan panen, para santri diajarkan cara mengolah hasil panen menjadi makanan. Pendidikan tersebut diharapkan membuat santri mengetahui gizi serta khasiat makanan yang diolah.
Lebih dari 750 orang telah belajar di Pesantren Ath Thaariq. Di antara alumnus, tidak sedikit pula yang mengembangkan pesantren dengan model Ath Thaariq di desa asal mereka. Nizza menganggap itu merupakan bagian dari misi pesantren.
Tidak hanya ke santri, Nissa dan suami memberikan pendidikan serupa ke tiga anaknya: Salwaa Khanzaa Al Salsabil (16), Akhfaa Nazhat Al Wafa (13), dan Qaisa Qaramitha Mulya Shadra (5). Bahkan, Salwaa ikut menebarkan ilmunya ke santri Ath-Thaariq yang lebih muda.
Ath-Thaariq pun mengundang perhatian dari luar daerah. Ada dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sulawesi Selatan, perkumpulan petani organik Purworejo, dan rombongan biarawati dari Jawa Tengah yang ikut belajar agroekologi.
Berkat perjuangannya, Nissa diganjar berbagai penghargaan seperti Perempuan Inspiratif Nova 2015 dan Kusala Swadaya sebagai pengembang wirausaha hijau pada 2015. Dia pun sempat menerima beasiswa dari A-Z Agroecology and Organic Food System Course di India. Beberapa acara ekologi dunia juga pernah diikuti macam Bhoomi Festival di New Delhi dan The Soil Yatra di Indore dan Nagpur, India.