Perlu Upaya Terpadu Melibatkan Berbagai Pemangku Kepentingan untuk Tangani Kekerasan di Lingkungan Pendidikan

KEMENKO PMK -- Kekerasan di lingkungan pendidikan menjadi permasalahan yang masih kerap terjadi di Indonesia. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pelanggaran terhadap perlindungan anak di sektor pendidikan yang masuk KPAI sejak Januari sampai Agustus 2023 mencapai 2.355 kasus. Terdapat kenaikan 10 persen dari sebelumnya sebanyak 2.133 kasus di tahun 2022.

"Faktanya bahwa kekerasan di lingkungan pendidikan ini masih berulang dan berulang. Dan ini lah tantangan kita bersama. Oleh karenanya pemerintah memberi perhatian serius terhadap masalah ini dan mengambil langkah-langkah pencegahan, penanganan dan penindakan," ujarnya dalam kegiatan Deputy Meet The Press, di Ruang Media Center Kemenko PMK, pada Senin (19/8/2024).

Deputi Warsito menerangkan, pemerintah telah memiliki payung hukum untuk penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan, yaitu: UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; UU No.12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual; Permendikbudristek No.46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan; Peraturan Menteri Agama No.73 Tahun 2022 dan Kepdirjen Pendis No.1262 Tahun 2024 tentang Juknis Pengasuhan Ramah Anak di Pesantren.

Lebih lanjut, Warsito menjelaskan bahwa kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan tidak mengenal jenjang. Mulai dari tingkat dasar, menengah, sampai perguruan tinggi. Kekerasan bisa dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, bahkan seksual. Pelaku kekerasan juga bisa siapapun seperti peserta didik, tenaga pendidik, pengajar, ataupun dari warga di lingkungan pendidikan.

Deputi Warsito menyampaikan, untuk menangani kekerasan di lingkungan pendidikan perlu dilakukan secara terpadu dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Pemberian pemahaman atau edukasi terkait kekerasan fisik, verbal dan seksual perlu diberikan tidak hanya oleh tenaga pendidik, namun juga oleh orang tua di rumah sehingga anak-anak dapat menandai perilaku yang mengarah pada kekerasan dan dapat menghindarinya. Pada saat yang sama, orang tua dapat mengetahui sejak dini apabila ada perubahan perilaku dan anak-anaknya bila terindikasi menjadi korban kekerasan.

Deputi Warsito juga menambahkan perlunya sekolah memiliki guru bimbingan konseling yang memiliki kompetensi untuk bisa mencegah terjadinya kekerasan di lingkungan sekolah. Kompetensi ini bisa didapatkan juga melalui pendidikan dan pelatihan khusus apabila belum memiliki guru-guru dengan latar belakang Pendidikan Psikologi. Guru memiliki peran penting dalam memantau tempat di mana murid biasa bermain setelah pulang sekolah seperti di warung atau kafe tempat mereka bermain. Dalam hal ini, guru dapat memantau murid sebelum terjadinya tindakan kekerasan dan kejadian yang tidak diinginkan.

"Untuk itu diperlukan penambahan Guru Bimbingan Konseling pada satuan pendidikan dasar dan menengah dengan rasio jumlah siswa binaan yang proporsional," ujar Warsito.

Lebih lanjut, Deputi Warsito menjelaskan bahwa saat ini, Kemenko PMK terus berupaya memaksimalkan peran satuan tugas terpadu yang melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya untuk dapat melakukan pencegahan dan memberi respon cepat setiap kali terjadi tindak kekerasan di lingkungan pendidikan. Dalam hal ini, Kementerian Agama juga dilibatkan dalam Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang melibatkan organisasi sosial keagamaan (bukan ASN).

"TPPK perlu bekerjasama dengan masyarakat dengan pengawasan berkala pada tempat tempat di sekolah atau luar sekolah, mengidentifikasi tempat-tempat rawan bullying atau kekerasan," ungkap Deputi Warsito.

Untuk mencegah kekerasan di lingkungan pendidikan yang dilakukan oleh warga sekolah maka proses rekrutmen harus dilakukan secara ketat pada pendidik dan tenaga kependidikan sampai staf kebersihan, keamanan, dan lain sebagainya.

"Apabila ada oknum yang terlibat menjadi pelaku kekerasan maka perlu dilakukan rotasi atau mutasi sehingga yang bersangkutan tidak lagi bekerja dalam lingkungan Pendidikan. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari timbulnya trauma di kalangan peserta didik dan menutup peluang bagi yang bersangkutan untuk kembali melakukan tindak kekerasan," ucap Warsito.

Pada kesempatan tersebut, Deputi Warsito menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada media massa yang secara intens memberitakan berbagi isu mengenai kekerasan di lingkungan pendidikan. Menurutnya, pemberitaan media sangat membantu dalam mengedukasi masyarakat supaya menjadi pembelajaran dan mencegah terjadinya kekerasan berulang kembali. Selain itu dengan pemberitaan media juga bisa ditanggapi oleh pemerintah untuk bergerak cepat menangani permasalahan.

"Kami menyampaikan apresiasi kepada teman media yang cepat merespon ketika terjadi berbagai kejadian kekerasan baik fisik psikis seksual ataupun yang sifatnya intoleransi. Ini menjadi penting karena langsung terinfokan kepada institusi lembaga terkait yang menangani kekerasan di satuan pendidikan," jelas Warsito. (*)

 

Kontributor Foto:
Reporter: