Tantangan Percepatan Penurunan Stunting di Masa Pandemi

Jakarta (3/2) -- Permasalahan stunting (gagal tumbuh) masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah Indonesia. Berdasarkan hasil survey Status Gizi Balita pada 2019, prevalensi stunting Indonesia tercatat sebesar 27,67 persen. Angka itu masih di atas standar yang ditetapkan oleh WHO bahwa prevalensi stunting di suatu negara tak boleh melebihi 20 persen.

Masalah stunting harus diatasi dengan baik agar generasi masa depan Indonesia bisa menjadi generasi yang unggul, berdaya saing, dan berkualitas. Presiden RI Joko Widodo pun telah mencanangkan target optimis percepatan penurunan stunting pada tahun 2024 menjadi 14 persen.

Namun, upaya percepatan penurunan stunting menghadapi tantangan pandemi Covid-19 yang masih belum usai. Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Agus Suprapto mengatakan bahwa pandemi yang melanda dikhawatirkan meningkatkan angka stunting.

Dia menerangkan bahwa memang angka resmi prevalensi stunting tahun 2020 masih belum ada dan tengah diramu oleh BPS, Kemenkes, dan pihak terkait lainnya. Akan tetapi, menurutnya, dari meningkatnya angka pengangguran dan angka kemiskinan selama pandemi, maka kemungkinan angka stunting bisa ikut meningkat.

"Asumsi kita, dari banyaknya pengangguran yang naik, angka kemiskinan yang naik, kemungkinan konsumsi pada kelompok ibu hamil, pada anak-anak, pada bayi, kemungkinan akan terjadi penurunan. Nah itu ada resiko kejadian berat badan bayi rendah. Itu juga tanda-tanda pertumbuhan secara fisik organnya juga rendah, khawatirnya jadi stunting," tutur Agus Suprapto dalam program Halo Indonesia DAAI TV, pada Rabu (3/2).

Lebih lanjut, Deputi Agus mengatakan, untuk mencapai angka 14 persen sesuai target yang dicanangkan Presiden memerlukan upaya keras dengan fokus dan sasaran yang jelas. Oleh karena itu, Presiden telah memerintahkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai penanggung jawab percepatan penurunan stunting. 

Dengan BKKBN sebagai penanggung jawab, menurut Agus, penanganan dan pencegahan stunting akan menjadi lebih fokus. BKKBN dapat memetakan data individu dan kelompok berresiko seperti remaja, ibu hamil, dan akan diberikan sosialisasi hingga pendampingan.

"Jadi untuk mencapai 14 persen ini bukan masalah kesehatan saja tapi masalah kependudukan. Termasuk nanti juga diatur bagaimana calon pengantin siap untuk melahirkan keluarga yang sehat dan tidak ada keturunannya yang stunting," terang dia.

Deputi Agus menerangkan, upaya penanganan stunting juga bisa dilakukan oleh masyarakat umum. Menurut dia, perlu ada kegiatan surveilans atau pemantauan lingkungan untuk melihat keadaan masyarakat sekitar. Ini bisa dilakukan oleh pengurus RT/RW atau desa dan kelurahan, petugas kesehatan seperti bidan dan perawat, atau dengan kesadaran kita sebagai masyarakat.

"Kalau kita mampu melihat bahwa ada dicurigai ada anak-anak yang kurang makan kurang gizi sering sakit-sakitan, maka kita sebaiknya segera membantu mereka. Baik membantu secara tangible (berwujud) maupun intangible (tak berwujud)," ujarnya.

"Yang tangible kalau kita punya rezeki lebih dikasih, kalau bisa digeser buat mereka yang menerima bantuan BLT tapi sudah merasa mampu maka dikasihkan ke yang kurang mampu. Yang intangible kita bisa menyalurkan mereka ke tempat pelayanan. Atau kita kasih ilmunya, kita kasih penjelasan persuasi bahwa ibu ini memiliki calon generasi muda," imbuh dia.

Menurut Agus, penanganan stunting seperti itu pasti bisa dilakukan dengan baik, dikarenakan bangsa Indonesia memiliki jiwa gotong royong yang tinggi. Masalah-masalah disekitar terkait gizi pada ibu hamil pasti bisa diatasi bersama. 

"Dan saya yakin bangsa Indonesia punya kemampuan untuk itu. Kan ada jiwa gotong royong dan sebagainya. Dan kita juga punya potensi makanan lokal yang bisa membantu masalah kurang gizi yang berakibat stunting pada keturunan kita," pungkas Deputi Agus. (*)

Reporter: