Pemerintah Berkomitmen Cegah Kekerasan Seksual Pada Perempuan Sampai Masyarakat Adat

KEMENKO PMK -- Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Woro Srihastuti Sulistyaningrum menjadi pembicara pada kegiatan pertemuan refleksi akhir tahun  “Kekerasan Seksual dalam Masyarakat Adat” yang diselenggarakan oleh KEMITRAAN, di Jakarta, pada hari Senin (27/11/2023).

Woro menyampaikan, pemerintah telah memiliki berbagai regulasi dan kebijakan untuk melindungi perempuan dari kekerasan seksual. Seperti Undang-Undang No. 7 tahun 1984  tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Kemudian, PP No. 78 tahun 2001 tentang Perlindungan Khusus Anak, dan peraturan lain baik dalam bentuk perpres dan peraturan kementerian/Lembaga. Hal ini juga sejalan dengan komitmen pemerintah di tingkat global melalui SDG’s.

Lebih lanjut, Woro menyampaikan, kebijakan pemerintah terkait perlindungan anak dan perempuan ini juga sudah dituangkan dalam RPJMN 2020-2024 dan akan dilanjutkan dalam dokumen perencanan selanjutnya 2025-2029. "Ini sebagai upaya pemerintah dalam melindungi anak dan perempuan supaya kualitasnya meningkat dengan target dan indikator yang telah ditetapkah diantaranya adalah indeks perlindungan anak, angka kekerasan terhadap anak dan angka kekerasan terhadap perempuan," ungkapnya.

Woro menyampaikan, pemerintah punya target-target yang harus dipenuhi dalam RPJMN, diluar dari target untuk menurunkan kekerasan bagi perempuan dan anak secara nasional yaitu indeks pembangunan gender. Target ini mengukur perbandingan capaian pembangunan manusia antara perempuan dan laki-laki. Artinya, pembangunan manusia harus kita dorong terus meningkat, khususnya perempuan untuk memperkecil kesenjangan pembangunan antara perempuan dan laki-laki. Tentunya upaya ini juga harus dilakukan pada masyarakat adat supaya dapat mendorong tercapainya kesetaraan gender dalam pembangunan.
 
Lebih lanjut, Deputi Woro mengatakan, masih banyak tantangan dalam implmentasi UU TPKS dalam menjangkau masyarakat adat diantaranya budaya patriaki, budaya setempat, hukum adat masih menjadi pedoman hidup komunitas masyarakat adat, pantangan lembaga adat untuk membawa kasus kekerasan seksual ke ranah formal, tantangan bagaimana membangun komunikasi, sosialisasi dan edukasi terutama dalam memberikan pemahaman terhadap kekerasan termasuk layanan-layanan.

"Peran pendamping yang ada di lapangan menjadi penting sekali karena temen-temen inilah yang bisa mendekatkan layanan-layanan kepada mereka. Kami pemerintah tidak bisa bekerja sendiri harus bermitra dengan temen-temen non pemerintah seperti NGO/CSO maupun pihak-pihak lainnya," ujar dia.

Hal senada dikatakan Ida dari Yayasan Cipta Mandiri Mentawai menyebutkan kendala  faktor geografis yang sulit dijangkau dan tidak cukup biaya operasional untuk menjangkau pelosok daerah. Selain itu, tantangan lain adalah bahwa Aparat Penegak Hukum (APH) tidak mendorong proses hukum formal jika terjadi kekerasan di masyarakat adat karena masyarakat merasa sudah cukup selesai ditangani secara hukum adat. 

Menurut data aliansi masyarakat adat nusantara per 9 agustus 2023, Indonesia memiliki 4,57 juta masyarakat adat dan 2,16 juta komunitas masyarakat adat yang tersebar di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Jawa dan Papua.

Hadir dalam pertemuan tersebut Bapak Yasir Program Manager Kemitraan, INKLUSI Pimpinan Lembaga Pelaksana Program Estungkara, YBBJ, Karsa Institut, Pundi Sumatera, Perempuan AMAN, Bumi Lestari, Sulawesi Community Foundation, PPSW Jakarta, KKI Warsi, RMI dan Yayasan Cipta mandiri Mentawai. 

Kontributor Foto:
Reporter: