Setiap tahun, Pemerintah Indonesia mengirimkan rata-rata 200 perawat untuk bekerja sebagai perawat medis di rumah sakit serta panti lansia yang tersebar di wilayah Jepang. Hingga tahun 2018, tercatat sebanyak 653 kandidat nurse dan 1.792 kandidat careworker telah ditempatkan di Jepang, sekitar 159 nurse dan 392 careworker di antaranya bahkan telah berhasil lulus ujian nasional Jepang dalam kurun waktu 2010 – 2018.
Seiring makin meningkatnya jumlah yang terkirim, para Perawat asal Indonesia juga semakin disukai oleh Warga Jepang. Karenanya perlu diimbangi dengan keterampilan yang mumpuni.
Pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas tenaga perawatnya agar dapat bersaing di tingkat internasional. Salah satu caranya dengan memperkuat pendidikan mereka seperti dengan membuka kelas-kelas internasional di beberapa politeknik Kesehatan yang dikelola oleh Kementerian Kesehatan. Upaya ini lalu berkembang dengan melakukan kerjasama EPA (Economic Partnership Agreement) antara Indonesia dengan Jepang yang diketahui terus terjalin semakin erat.
“Di sini saya merasa perlu untuk memberikan pesan kepada anak-anak saya semua, untuk selalu belajar sebaik-baiknya. Terakhir harapan saya, agar kalian rajin belajar untuk bisa lulus ujian nasional. Jangan lupa untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmu keperawatan selama bekerja di sini agar ilmu yang sudah didapat pada saat di bangku pendidikan tidak terlupakan,” kata Menko PMK saat berkunjung ke Pusat Pelatihan Bahasa Jepang yang berlokasi di Tokyo Kenshu Center, baru-baru ini.
“Selanjutnya, saya juga berharap agar nanti sekembalinya ke Indonesia dapat membagikan ilmu, teknologi, dan pengalaman yang telah diterima selama bekerja di sini. Saya yakin bahwa pengalaman belajar dan bekerja dalam sistem pelayanan lansia di Jepang yang diperoleh akan menjadi masukan yang berharga bagi upaya peningkatan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh para perawat Indonesia,” katanya lagi.
Kunjungan ini, seperti dikatakan Menko PMK, merupakan bentuk dukungan semangat kepada para Perawat Indonesia yang akan menghadapi ujian nasional agar semuanya berjalan dengan baik dan lancar serta memperoleh nilai dan jumlah kelulusan yang baik pula. Selain Menkes, hadir mendampingi Menko PMK dalam Kunker ini antara lain Direktur Pusat Pelatihan Bahasa Jepang AOTS (Association for Overseas Technical Cooperation and Sustainable Partnerships) Tokyo Kenshu Center; Duta Besar Indonesia untuk Jepang; dan para undangan lainnya.
Pada kesempatan ini, Menko PMK meminta kepada Pengelola Pusat Bahasa Jepang untuk dapat terus mendukung dalam program EPA sehingga akan lebih banyak perawat Indonesia yang dapat bekerja di berbagai fasilitas kesehatan di Jepang. “Dan terakhir saya titipkan anak-anak saya, perawat Indonesia agar mandapatkan bimbingan dan arahan untuk belajar Bahasa Jepang bekerja dengan baik dan dapat lulus ujian Nasional (Kaigofukushishi),” katanya. “Harapan Saya, dalam kesempatan ini kita dapat berdiskusi tentang pengalaman dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di Pusat Pelatihan Bahasa Jepang selama menerima dan membimbing nurse dan careworker Indonesia khususnya menjelang ujian nasional Jepang,” ajak Menko PMK.
Menurut penuturan salah satu perawat berinisal AW (32) menceritakan suka dukanya kepada Kompas.com saat bekerja sebagai perawat di negeri Sakura. Perawat yang pernah bekerja di rumah sakit di Lombok, NTB itu mengaku mendapat pengalaman baru selama bekerja empat tahun di Jepang. “Enak ya, namanya juga negara maju dapat pengetahuan baru dari segi teknologi, budaya mereka, iklim kerja dan gaji lebih besar,” ujarnya.
AW mengatakan, orang Jepang sangat disiplin dengan waktu. Saat bekerja, para karyawan tidak boleh bersantai sejenak. “Kalau masih jam kerja kita enggak boleh santai, tapi pas istirahat kita harus istirahat. Kerjanya 8 jam juga. Lima hari kerja,” kata AW. Selain itu, menjadi perawat di Jepang tidak boleh melakukan tindakan medis seperti di Indonesia.
AW yang kala itu bekerja di sebuah rumah sakit di Osaka, mengaku hanya dokter yang diperbolehkan mengambil tindakan medis. “Misalnya menjahit luka, itu dokter yang melakukan. Kalau di sini kan, perawat punya keahlian itu. Di sana itu enggak boleh perawat lakuin tindakan medis,” ungkapnya lagi.
Kendati begitu, menurut AW, orang Jepang sangat suka dengan perawat ataupun caregiver asal Indonesia. Sebab, para tenaga kerja asal Indonesia mempunyai kemampuan lebih dibanding perawat asal Jepang. Pada awalnya, AW mengaku kesulitan beradaptasi. Bahasa merupakan kendala utama untuk bersosialisasi dengan masyarakat Jepang. Namun, lambat laun Dia mulai dapat beradaptasi. Alhasil, dia mampu bergaul dengan penduduk asli Jepang. “Kalau kita welcome mereka welcome. Tapi ada juga yang enggak welcome dan enggak ramah. Di mana-mana kan ada juga kayak gitu,” ujar AW.
Senada dengan AW, Yayu juga mengaku pada awalnya kesulitan bersosialisasi dengan orang Jepang. Dia sempat beranggapan orang Jepang sangat tertutup. Akan tetapi, setelah lama tinggal di sana dia baru mengetahui bagaimana kepribadian orang Jepang. “Mulanya saya berpandangan orang Jepang itu tertutup, kurang mau sosialisasi, tapi ternyata mereka mau terbuka kalau mereka trust pada kita,” kata Yayu lagi.
AW dan Yayu merupakan perawat dan caregiver asal Indonesia yang mengikuti program kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan Jepang. Program ini telah bergulir sejak 2008 lalu. Melalui program tersebut, pemerintah Jepang akan memperkerjakan perawat dan cargiver asal Indonesia di beberapa rumah sakit yang ada di sana. Dengan tawaran gaji yang lebih tinggi, Jepang tentu jadi tawaran kerja yang menjanjikan para perawat asal Indonesia.