Menurut Prof. Agus, Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia menjadi pasar yang sangat potensial bagi produk halal. Untuk itu, guna meningkatkan kenyamanan penggunan produk halal, pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menjamin produk-produk yang beredar halal untuk digunakan.
"Insya Allah Pertanggal 17 Oktober 2019 UU JPH berlaku dan pelaku usaha serta jasa harus mulai memproses sertifikasi halal produk -produknya," ujar Prof. Agus.
Sehubungan dengan itu, menurut Prof. Agus, kesiapan implementasi UU JPH, seperti: kesiapan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), ketersediaan Auditor Halal, dan hal-hal lain yang terkait dengan JPH merupakan sesuatu yang sangat urgent dan harus mendapatkan perhatian serius.
"Saya berharap pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama melalui BPJPH untuk membuat estimasi terkait dengan kebutuhan LPH pada masing-masing provinsi, Kabupaten/Kota termasuk didalamnya pemenuhan SDM. Hal ini penting mengingat jumlah UKM di Indonesia ± 62 juta UKM, dan Industri Kecil Menengah ± 4 juta IKM," kata Prof. Agus.
Menurut Prof. Agus, Auditor Halal merupakan unsur penting yang harus ada dalam Lembaga Pemeriksa Halal. Dalam UU JPH disebutkan bahwa Lembaga Pemeriksa Halal minimal memiliki 3 (tiga) Auditor Halal, kalau kita hitung kebutuhan calon Auditor Halal se-Indonesia maka 3 x 514 Kota/Kabupaten = 1.542 calon Auditor Halal. Di samping itu, implementasi UU JPH melibatkan Penyelia Halal dan Sumber Daya Manusia lainnya.
Sebagai upaya menyiapkan implementasi UU JPH dan membangun sumberdaya manusia yang kompeten di sector Auditor halal, pemerintah telah menerbitkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk pejabat auditor dengan diterbitkannya PP No 31/2019 tentang JPH.
Senada yang di sampaikan Prof. Agus, Kepala Badan Penyelenggarana Jaminan Produk Halal (BPJPH), Sukoso juga memandang pentingnya auditor halal dalam menjamin kehalalan produk. BPJPH dalam rangka memenuhi kebutuhan produk halal telah melaksanakan pelatihan auditor halal sejak tahun 2018. “Hingga September 2019 telah dilakukan pelatihan sebanyak 6 gelombang. Total 240 orang dengan biaya Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) BPJPH," terang Sukoso.
Nantinya, lanjut Sukoso, auditor yang telah melaksanakan pelatihan harus mengikuti uji kompetensi , dan sesuai amanat UU yang melaksanakan uji komtensi adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun hingga saat ini MUI belum melakukan uji kompetensi terhdap auditor halal. "Belum uji kompetensi, sudah melayangkan surat yang ketiga kalinya untuk permohonan uji kompetensi," ujar Sukoso.
Potensi Ekonomi
Dari perspektif ekonomi, Prof. Agus menjelaskan potensi produk halal yang berada di pasar global. Menurutnya, saat ini persoalan yang dihadapi bukan sekedar sertifikasi halal, tetapi menyangkut betapa besar potensi produk halal yang bisa dihasilkan.
"UU JPH ini sangat strategis untuk dapat mengoptimalkan captive market, sehubungan dengan jumlah penduduk muslim di Indonesia yang mencapai 80%. Oleh sebab itu harus ada kesadaran bersama tentang pentingnya mengoptimalkan captive market yang ada didepan mata, jangan sampai justru pihak luar yang memanfaatkannya," jelas Prof. Agus.
Disamping itu, lanjutnya, UU JPH ini dapat dijadikan terobosan untuk mengurangi devisit neraca perdagangan yang disebabkan banyaknya import dan penanggulangan pengangguran di Indonesia, terutama lulusan Strata 1.
Sementara data dari Global Islamaic Economy, bahwa potensi pasar halal dunia ditahun ini diperikirakan sebesar 2438 triliun dollar dan naik menjadi 3800 triliun dollar pada tahun 2023. Sementara produk makanan halal dari 1300 triliun dollar menjadi 1800 triliun dollar pada tahun 2023.
"Kalau kita lihat data yang lain, potensi pasar indonesia menurut data Islamic Finnace sebesar 82 miliar dollar dan di halal food sebesar 170 miliar dollar," ungkap Prof. Agus.
Melihat potensi produk halal yang sangat besar, lanjut Prof. Agus, Pemerintah menginginkan produk-produk Indonesia mampu bersaing dengan produk luar negeri. Apalagi Indonesia sebagai penduduk muslim terbesar jangan hanya jadi pasar saja. Bahkan Jepang dan Korea terus meningkatkan produk-produk halalnya.
Prof. Agus mengharapkan kerjasama semua kementerian dan lembaga terkait untuk mengoptimalkan potensi yang ada di Indonesia.
"Mari kita bersama-sama bergandengan tangan gotong royong kita semangat kita komit jangan sampai kita jadi penonton di rumah sendiri ini potensi-potensi kita harus kita optimalkan. Jangan sampai yang membanjiri indonesia produk-produk dari luar negeri, karena kita sendiri yang abai terhadap produk halal ini," ujar Prof. Agus.
Sukoso menambahkan, Hampir 60% dari perputaran ekonomi syariah dunia ada di Asia Pasifik, dan Indonesia akan serius menangkap peluang (industri halal) ini. Apalagi sebanyak 13% masyarakat muslim dunia ada di Indonesia, dan ini (sertifikasi halal) sudah membantu menyelesaikan masalah (produk halal) dunia.
Menurut data dalam sidang tahunan Islamic Chamber of Commerce, Industry, and Agriculture (ICCA), pada 2018 perdagangan produk halal dunia mencapai USD2,8 triliun. Penyumbang produk halal dari total pendapatan ini dihasilkan dari produk makanan dan minuman sebesar USD1,4 triliun. Produk lain yang banyak menghasilkan pendapatan dari sertifikasi halal adalah obat dan farmasi sebesar USD506 miliar, kosmetik USD230 miliar, dan produk lainnya USD660 miliar.
Terkait pelayanan, Sukoso menegaskan pembuatan sertifikasi tidak akan lebih dari 62 hari kerja. Sedangkan urusan terkait biaya, BPJPH mengaku sangat transparan karena pengusaha akan membayarkan langsung iuran sertifikasi ke Kementerian Keuangan.