Menyasar Wakaf Kaum Milineal

Wakaf adalah sumber pendanaan Islam yang sangat strategis bahkan menurut sejarahnya wakaf menjadi kekuatan untuk mengentaskan kemiskinan. Bank Indonesia (BI) pernah meneliti potensi wakaf uang sehingga diketahui potensinya sebesar Rp 77 Trilyun.

Namun, perkembangan wakaf di Indonesia belum maju seperti perkembangan zakat. Badan Wakaf Indonesia (BWI) menyampaikan beberapa faktor penyebab perkembangan wakaf belum maju seperti zakat. 

Komisioner BWI, Iwan Agus Setiawan Fuad menyampaikan, regulasi wakaf lebih muda dibanding dengan regulasi zakat. Undang-undang (UU) tentang zakat udah diterbitkan sejak tahun 1990-an, sementara UU tentang wakaf baru diterbitkan tahun 2004. Artinya dorongan pemerintah terhadap wakaf juga baru.

"Wakaf dan zakat beda, kalau zakat sifatnya wajib jadi pemerintah lebih mudah mendorong agar masyarakat berzakat karena zakat kewajiban bagi umat Islam," kata Iwan beberapa waktu lalu.

Ia mengatakan, karena zakat adalah kewajiban bagi umat Islam. Maka siapapun punya kepedulian untuk memastikan agar umat Islam benar-benar menunaikan zakatnya. Sementara, wakaf sifatnya sukarela, sehingga perlu ada kekuatan untuk mengajak masyarakat agar mau wakaf secara masif.

Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah faktor minimnya literasi masyarakat tentang wakaf. Literasi wakaf baru dikenalkan ke masyarakat, sementara literasi zakat sudah dikenalkan di tingkat sekolah dasar, menengah, atas sampai perguruan tinggi.

"Zakat juga sudah dikenal di pesantren atau di tempat-tempat keagamaan, sementara wakaf baru dikenal sejak wakaf dilihat sebagai sumber pendanaan Islam yang cukup strategis yang sesungguhnya sejak sejarah peradaban Islam wakaf itu menjadi kekuatan dalam mengentaskan kemiskinan," jelasnya.

Maka, Iwan menegaskan, literasi wakaf seharusnya sudah mulai dikenalkan dari tingkat taman kanak-kanak, sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Jelaskan apa itu wakaf, manfaat wakaf dan cara melakukan wakaf.

Untuk itu, BWI sedang fokus memberi pemahaman tentang wakaf kepada generasi milenial. BWI ke kampus-kampus membuat gerakan wakaf dan membuat seminar tentang wakaf untuk kalangan milenial. "Kita juga undang duta-duta wakaf dari kalangan artis dan kalangan mahasiswa supaya mereka ikut terlibat dalam wakaf," ujarnya.

Digitaliasi Wakaf

Salah satu media untuk memperkenalkan dan menggali potensi wakaf kaum milineal adalah dengan digitalisasi. BWI sudah memulai gerakan digitalisasi wakaf dengan mendorong para nadzir atau pengelola wakaf untuk memanfaatkan teknologi digital. Sejumlah platform kini sudah memanfaatkan teknologi dalam penghimpunan dan sosialisasi wakaf.

Menurut Iwan, proses digitalisasi wakaf sudah dimulai sekitar dua tahun yang lalu. BWI mendorong seluruh nadzir agar mulai menggunakan teknologi digital untuk crowdfunding dan sosialisasi tentang wakaf.

"Ada beberapa platform yang memang sudah munculkan di tengah masyarakat, misalnya Fintech Ammana itu salah satu fintech syariah pertama yang di dalamnya ada wakaf sebagai bagian dari crowdfunding yang dilakukan oleh salah satu platform itu," kata Iwan.

Ia menerangkan, Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS PWU) termasuk beberapa lembaga swasta sudah mengeluarkan fintech wakaf. Jadi sesungguhnya BWI  sudah mendorong seluruh komponen masyarakat termasuk nadzir untuk bisa menggunakan teknologi digital.

BWI juga sudah berkolaborasi dengan Bank Indonesia (BI) membuat informasi wakaf terpusat. Jadi BI dan BWI sudah membuat database wakaf. Di dalamnya akan ada data dan laporan wakaf. "Mungkin tahun depan kita launching (data base wakaf) tapi prosesnya sudah lebih dari setahun kita menyiapkannya," ujarnya.

General Manager Wakaf Dompet Dhuafa, Bobby P Manullang mengatakan, sekarang sudah ada beberapa nadzir yang menggunakan teknologi digital untuk menghimpun wakaf. Sementara nadzir-nadzir lainnya masih banyak yang belum memanfaatkan teknologi digital.

Menurutnya, pemanfaatan teknologi digital yang paling dasar untuk mengembangkan literasi wakaf di Indonesia. Sekarang sebagian besar generasi milenial menggunakan sarana media digital untuk komunikasi. Maka para nadzir perlu masuk ke dunia digital untuk memberikan literasi tentang wakaf kepada mereka.

"Dulu wakaf menyasar donatur premium tapi mereka tidak familiar di dunia digital, hari ini ketika kita menyasar donatur milenial, generasi milenial ini adalah masa depan dari literasi dan penghimpunan wakaf, maka mau tidak mau wakaf harus sudah masuk (ke dunia) digital," kata Bobby.

Menurutnya, donatur premium perlu didekati dengan persuasif sehingga mereka mau berwakaf. Sekali mereka memberikan wakaf, jumlahnya sangat besar. Tapi sekarang di era digital penghimpunan wakaf nominalnya kecil-kecil tapi kuantitasnya banyak. Karena yang wakaf generasi milenial dari kalangan mahasiswa dan pelajar.

Donasi generasi milenial sekitar Rp 50 ribu atau Rp 20 ribu tapi jumlah mereka banyak. Artinya penghimpunan wakaf secara digital pada hari ini tidak menyumbangkan nominal yang besar dari setiap donaturnya. Tapi donatur yang loyal ada di dunia digital mereka adalah generasi milenial.

Bobby menyampaikan, menurut catatan beberapa nadzir setelah memanfaatkan teknologi digital terjadi peningkatan transaksi rata-rata hampir tiga kali lipat. "Kalau Dompet Dhuafa, catatan saya di Oktober 2018 jumlah transaksi wakaf 2.400 transaksi tapi begitu masuk ke digital jadi 8.600 transaksi wakaf di Oktober 2019," jelasnya.