Bicara di tengah forum dunia saat Peringatan Hari Jadi PBB usai diganjar Penghargaan Nobel untuk bidang ekonomi Tahun 2019, Ekonom asal Universitas Harvard, Michael Kremer menegaskan bahwa aksi nyata, meskipun kecil tetapi hasilnya akan sangat berarti bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan. “Karena tindakan memerangi kemiskinan adalah sesuatu yang sebenarnya dapat dilakukan oleh semua orang,” kata Kremer.
Indonesia menjadi objek penelitian dalam upaya memerangi kemiskinan. Kebijakan di masa lalu dan efeknya di masa kini. Penelitinya pun dapat Nobel di Tahun 2019 ini.
“Berikan mereka kelambu saat wabah malaria menyebar atau hanya untuk pencegahan saja, itu sudah membuktikan adanya kepedulian kita terhadap mereka yang miskin. Hal sederhana dan murah tetapi punya arti besar dalam menjaga kesehatan diri dan lingkungan,” kata Kremer lagi. “Hidup di dunia dengan segala sumberdaya yang ada dan bisa kita manfaatkan, menurut saya, menjadi penting untuk mengatasi segala masalah kemiskinan. Upaya ini tentu bisa kita lakukan baik sebagai bagian dari masyarakat maupun sebagai pribadi.”
Bersama kedua Ekonom lainnya, Esther Duflo dan Abhijit Banerjee, Kremer menerima Hadiah Nobel itu setelah sekian lama meneliti upaya dan kebijakan pemerintah di beberapa negara dalam memerangi kemiskinan. Ketiga Pemenang itu dinilai berhasil melahirkan pendekatan baru di bidang pendidikan dan kesehatan untuk memerangi kemiskinan. Penelitian yang mereka lakukan setidaknya terjadi selama dua dekade dan Esther Duflo bahkan secara khusus meneliti tentang keberadaan SD Inpres di Indonesia, mulai dari berdirinya hingga efek yang ditimbulkannya saat ini dalam hal pendapatan upah kerja.
“Dampak Jangka Menengah Ekspansi Pendidikan: Studi Kasus Program Pembangunan Sekolah di Indonesia” merupakan judul laporan penelitian Duflo yang secara garis besar menyoroti adanya kebijakan SD Inpres terhadap angka partisipasi pendidikan, gaji, serta partisipasi tenaga kerja dalam kurun waktu 13 tahun (1986 -- 1999)
Abstraksi penelitian itu menyatakan bahwa penelitian ini berbasis pada realita yang terjadi di Indonesia pada 1973 dan 1978. Kala itu, Indonesia membangun lebih dari 61.000 SD. Duflo mengevaluasi efek dari program ini pada pendidikan dan upah. Dengan menggabungkan perbedaan antardaerah dalam jumlah sekolah yang dibangun dengan perbedaan antarkelompok yang disebabkan oleh waktu program.
Dalam risetnya, Duflo menunjukkan bahwa pembangunan SD Inpres menyebabkan peningkatan pendidikan dan pendapatan. Anak-anak usia 2 hingga 6 tahun di 1974 menerima 0,12 hingga 0,19 tahun lebih banyak pendidikan, untuk setiap sekolah yang dibangun per 1.000 anak di wilayah kelahiran mereka.
Dengan menggunakan variasi sekolah yang dihasilkan oleh SD Inpres ini sebagai variabel instrumental dampak pendidikan terhadap upah. Duflo mendapatkan kesimpulan bahwa kebijakan ini sukses “meningkatkan” perekonomian bahkan pengembalian ekonomi sekitar 6,8 -- 10,6%.
Duflo juga berkesimpulan dengan adanya program SD Inpres, Indonesia memiliki dampak positif terhadap angka partisipasi di sektor tenaga kerja formal, meskipun kemudian peningkatan partisipasi pendidikan berbanding terbalik dengan besaran upah yang diterima.
Penyebabnya, menurut Duflo, karena laju partisipasi lebih tinggi ketimbang laju kenaikan upah. Selain itu, peningkatan modal sumber daya manusia (Human Capital) yang tidak dibarengi dengan peningkatan modal fisik (physical capital). Kalau produktivitas tidak naik, kemungkinan besar upah juga tidak naik.
Menurut sejarahnya, SD Inpres merupakan proyek peningkatan kualitas pendidikan dasar semasa Pemerintahan Orde Baru. SD Inpres terbentuk dengan keluarnya instruksi presiden Nomor 10 tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD atas gagasan Ekonom, Widjodjo Nitisastro.
SD Inpres kerap disebut dengan “sekolah kecil” karena disediakan untuk anak-anak masyarakat miskin, di daerah terpencil. Kalaupun di wilayah perkotaan, SD Inpres berada di kawasan dengan penghasilan rendah, sementara di wilayah lebih maju pemerintah membuat SD Negeri.
Selain Duflo, Suaminya yaitu Abhijit Benerjee juga kerap meneliti soal Indonesia. Berbeda dengan Duflo, Benerjee meneliti tentang BPJS Kesehatan. Penelitian itu dilakukannya dengan sejumlah peneliti lain termasuk peneliti lokal. Hasil penelitian itu kemudian diterbitkan dengan judul: “The Challenges of Universal Health Insurance in Developing Countries: Evidence from a Large-Scale Randomized Experiment in Indonesia.”
Penelitian ini, secara umum melihat bagaimana asuransi kesehatan dapat dijangkau oleh masyarakat. Penelitian ini menyasar 6.000 rumah tangga di Indonesia yang menjadi sasaran program asuransi kesehatan pemerintah yang diamanatkan secara nasional.
Penelitian serupa yang juga menargetkan Indonesia, pernah dilakukan Benerjee di tahun 2010. Penelitiannya ketika itu fokus pada soal tantangan Indonesia mengidentifikasi orang miskin untuk asuransi sosial akibat keterbatasan informasi soal pendapatan masyarakat.
Studi dilakukan dengan percobaan lapangan di 640 desa di Indonesia. Di mana ternyata penilaian diri penduduk desa atas status sosial lebih berpengaruh dalam menentukan apakah mereka tergolong penerima bantuan atau tidak dan bukan pendapatan per kapita. (*)